Selasa, 16 September 2014

landasan keilmuan psikologi dakwah


Berfikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Pengetahuan dibagi menjadi dua yaitu: pengetahuan biasa (knowledge) dan ilmu pengetahuan( science). Mengingat dalam kajian filsafat ilmu, antara kedua pengertian diatas jauh berbeda. Dr. Mohammad Hatta ( 1954 : 5) menulis : “ pengetahuan yang didapat dari pada pengalaman disebut pengetahuan pengalaman, atau ringkasnya dari pengetahuan. Pengetahuan yang didapat dengan jalan keterangan disebut ilmu”
               James K.feilebman ( 1963 : 161 ) merumuskan : knowledge relation between object and subject (pengetahuan adalah hubungan antara objek dan subjek).
 Sedangkan science (ilmu pengetahuan)  berasal dari kata scio- scire ( bahasa latin ) yang berarti tahu, begitu pula ilmu berasal dari kata “ aliima” (bahasa arab) yang juga bermakna tahu. Jadi baik maupun science secara etimologis bermakna pengetahuan. Namun secara termonologis ilmu dan science itu semacam pengetahuan yang mempunyai cir-ciri, tanda-tanda dan syarat yang khas (H. Endang saifudin anshari,M.A, 1990,47). Seorang guru besar antropologi di Rutgers University menyimpilkan bahwa : science is systematized knowledge derived from observation, study and experimentation carried on order to determine the nature of principles of what being studied (ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang di sistematisasikan dalam sistem yang di peroleh dari pengamatan,kajian, dan percobaan untk menentukan prinsip – prinsip dasar tentang hal yang sedang di kaji).
               Pengetahuan yang merupakn produk aktifitas berfikir merupakan obor dan semen peradaban (civilization ), dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup yang lebih sempurna meskipun kelihatannya  tampak betapa banyak dan beraneka ragam buah pemikiran itu, namun pada hakikatnya upaya pada manusia dalam memperoleh pengetahuan pada tiga masalah pokok, yaitu:
·         Apakah yang ingin di ketahui ?
·         Bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan?
·         Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita ?
( Jujun S.Suriasumantri, 1989,2).
                 Setiap bentuk pemikiran manusia dapat di kembalikan  pada dasar-dasar ontologi, epistomolgi, dan aksiologi dari pemikiran yang bersangkutan.
                                                                                              2
 Analisis kefalsafahan di tinjau dari tiga landasan ini akan membawa kita kepada hakikat buah pemikiran tersebut ( Jujun S. suriasumantri, 1989,5,).
A.      DASAR ONTOLOGI
Apakah yang ingin di ketahui ilmu? Atau dengan kata lain, apakah yang menjadi bidang telaah ilmu? Atau apa hakikat yang dikaji? sedang  bidang lain seperti agama misalnya, yang ruang lingkup kajiannnya hal-hal yang berada diluar jangkauan pengalaman manusia. Apa yang terjadi sesudah manusia  meninggal dunia? misalnya. Kiranya hingga sekarang ini tak pernah ada seorang pun yang kembali di lubang kubur untuk menceritakan pengalamannya. Secara sederhana dapat kita katakan bahwa kejadian seperti ini termasuk  sesuatu yang berada di luar jangkauan pengalaman manusia, non emperis hal ini tidak akan di kaji  atau di bahas dalam ilmu. Sebab ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang bersifat emperis. Objek penelahan ilmu mencangkup seluruh aspek kehidupan yang dapat di uji oleh pancaindra manusia (Jujun S.suriasumantri 1989, 5 )
                Pengetahuan keilmuan menenai objek emperis ini pada dasarnya merupakan abstraksi yang didasarkan abstraksi yang di sederhana kan. Penyederhanaan ini perlu, sebab kejadian alam (apalagi psikologi dakwah – yang melihat di namika kejiwaan yang terlibat dalam proses dakwah) sangat kompleks. Ilmu tidak bermaksud “ memotret “ atau “ memproduksi kan “  suatu peristiwa dalam bahasa keilmuan. Ilmu bertujuan untuk mengerti, mengapa hal itu terjadi dengan membatasi pada hal-hal yang ada.
                Setiap ilmu pengetahuan (science, wetenchop, wissenchaff) di tentukan oleh objeknya. Ada dua macam objek ilmu pengetahuan, yaitu: objek material dan objek formal.
                Objek material (obiectum materale, msterial object) ialah seluruh lapangan atau bahan yang di jadikan objek penyelidikikan suatu ilmu.
                Objek formal (obiectum formale, formal object) ialah objek formal yang di soroti oleh sesuatu ilmu, sehingga membedakan ilmu yang satu dari ilmu yang lainya,jika berobjek sama (I.R. Pusjawijatno,1967,29 – 30). Jadi dengan mengetahui objek formal dari suatu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lainnya, dan tidak mungkin suatu disiplin ilmu memiliki  objek formal yang identik.
Adapun yang dijadikan objek material dari psikologi adalah tingkah laku manusia (Drs.Wasty Soemanto,M,pd,1988,19) sedangkan objek material psikologi sosial adalah gejala- gejala social) juga sebagai objek material dari sosiologi ataupun ilmu hukum. Begitu pula tidak ketinggalan objek material dari psikologi dakwah sama juga, yakni “tingkah laku manusia”, identik dengan objek material psikologi.
                Filsafat (filsafat dakwah – yang di kehendaki yang eksisnya juga masih dalam proses pemikiran menuju sebuah disiplin ilmu) yang dikenal sebagai mother of science tidak mengkaji dakwah sebagai alat untuk memperkokoh tujuan kelompok sebagaimana pandangan sosiologi dakwah, akan tetapi filsafat dakwah meneliti, menganalisis dakwah secara kritis, dan dialetik. Filsafat dakwah mempersoalkan apakah hakikat manusia sebagai objek dan subjek dakwah dan bagaimana ia menggunakan dakwah untuk berhubungan dengan realitas yang lain dalam alam

                                                                              3
semesta ini, apakah kemampuan berkomunikasi ditentukan oleh sifat sifat jiwa manusia atau oleh pengalaman (empirical experience), bagaimana proses dakwah berlangsung sejak kognisi ke efeksi sampai perilaku, apakah media dakwah merupakan faktor sentral dalam proses evaluasi manusia dan seluas pernyataan-pernyataan lainnya.
                Lain lagi yang dijadikan (objek formal) dari ilmu jiwa agama, yaitu: proses beragama, perasaan, dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang di rasakan sebagai hasi ldari keyakinan (Dr. Zakiah Daradjat, 1970,4).
                Adapun psikologi dakwah mengkaji tentang “segala gejala hidup kejiwaan manusia yang terlibat dalam proses kegiatan dakwah” (Drs.H.M.Arifin, M,Ed, 1977,29). Mengingat psikologi dakwah merupakan salah satu bagian dari rumpun ilmu dakwah, yang dikenal sebagai ilmu normative, artinya berdasar,berbijak, beracuan pada norma- norma islam, yakni Al- Qur’an dan Al-Hadist. Maka disini penulis berusaha untuk menganalisis landasan ontology psikologi dakwah dari sudut pandang Al-Quran dan Al-Hadist pula.
                Sebagaimana yang telah penulis ungkapkan sebelumnya, bahwa yang ditelurusi dari dasar ontologis adalah “hakikat yang ada”, dalam hal ini, kita mengharapkan adanya keterangan, agar di awal permulaan kita dapat menghilangkan keraguan, akhirnya patuh (ingat kebenaran dalam agama berawal dari iman).
Untuk membuktikan hakikat yang ada ini dalam islam ada beberapa hal yang di kupas, antara lain :
1.       Kausalitas
       Sejak manusia mempunyai kelebihan dengan akalnya, dan terbitlah cahaya pikiran tentang wujud, dari sejak awal sampai kini masih bertanya-Tanya : dari mana wujud  (yang ada) itu datang? Kemana ia kembali? Atas dorongan yang kuat merupakan ke wajiban nya untuk mengetahui diri manusia. Jawaban atas pertanyaan itu merepotkan para filosof sehingga muncul lah konsep-konsep yang bermacam-macam dan beragam. Di antaranya ada yang benar dan tidak sedikit yang menyimpang dari akal, bahkan jauh dari nur illahi. Kalau kita perhatikan hujan yang tercurah dari awan, buah yang di hasilkan dari tumbuh-tumbuhan, tumbuh-tumbuhan yang tumbuh dari air dan tanah, dan air yang timbul dari unsur oksigen dan hydrogen, orang belum menyaksikan sejak ia membuka kedua matanya melihat yang ada bahwa yang baru terjadi tanpa sebab,atau sesuatu ada tanpa diadakan. Pandangan ini tenggelam dalam kelaiman yang mendasar, bahkan akal tak berani menentangnya. Orang tidak akan mengabaikan keputusan (pola pikir) semacam ini kecuali akal yang sakit atau akal ynag sempit. Hal ini semacam anak kecil yang memecahkan piring kemudian berkata ; “ bahwa piring itu pecah sendiri.
        Realitas yang tampak, akal yang mengagumkan, perjalanan alam di atas satu undang- undang, semuanya menyatakan adanya “perrmulan” atau “ awal”, yang dalam istilah filsafat di sebut “causa prima”. Ia adalah awal akal yang berfikir untuk mengetahui hahikat, dan ia merupakn dasar hukum akal, dan hokum-hukum logika.

                                                                       4


2.       Kebetulan
       Ada  sementara sebagian orang yang berkata tentang hakikat wujud bermain main dengan sebuah pendapat bahwa terjadi secara kebetulan. Untuk itu, sebagai penunjang analisis kami dalam masalah “dasar ontologis”, tidak berlebihan jika kami merasa kewajiban untuk memamparkan hakikat kebetulan dalam pembahasan, agar kita dapat menempatkan “ kebetulan” dalam proposinya.
        Ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa “cosmos” (meliputi mikroskosmos dan makrokosmos) tersesusun secara kebetulan. Semua perkara vital yang instingtif berjalan di atas perhitungan yang teliti secara kebetulan. Bagi orang yang berakal secara kebetulan, bagi orang yang berakal secara aksioma atau postulat akan bahwa pendapat semacam itu lebih mendekati pada khayal keanak-anakan di banding dengan pendekatan ilmiah.
       Para sarjana dan filosof akan berkata: “ tidak ada wujud dalam hakikat terjadi secara kebetulan”, kata itu hanya akan dikatakan oleh seseorang yang tidak mengetahui sebab sampai mereka tahu sebabnya, dan tidak memperkenan kan hakikat itu terjadi secara kebetulan. Andaikata kita mampu mengubah jumlah chromosome, baik ditambah atau di kurangi atau di ubah chromosome dari mahluk lain, kita pun tidak akan mengubah manusia menjadi hewan, atau hewan menjadi manusia, sehingga seorang wanita melahirkan anjing dan anjing pun melahirkan manusia tidaklah mungkin (sehingga jadilah alam permainan yang lucu sesudah tersusun rapi mengagumkan).
          Andai kta perbandingan oksigen dan nitrogen tak beraturan dalam udara, niscaya anda melihat bumi ini di liputi kebakaran yang akan menghancurkan kehidupan manusia atau mustahil ada kebakaran misalnya perbandingan antara oksigen dan hidrogen tidak beraturan dalam air, niscaya air tidak baik untuk di minum, niscaya matilah manusia lantaran kehausan.