Berfikir pada dasarnya merupakan
sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Pengetahuan dibagi menjadi dua
yaitu: pengetahuan biasa (knowledge) dan ilmu pengetahuan( science). Mengingat
dalam kajian filsafat ilmu, antara kedua pengertian diatas jauh berbeda. Dr.
Mohammad Hatta ( 1954 : 5) menulis : “ pengetahuan yang didapat dari pada
pengalaman disebut pengetahuan pengalaman, atau ringkasnya dari pengetahuan.
Pengetahuan yang didapat dengan jalan keterangan disebut ilmu”
James K.feilebman ( 1963 : 161 ) merumuskan :
knowledge relation between object and subject (pengetahuan adalah hubungan
antara objek dan subjek).
Sedangkan science (ilmu pengetahuan) berasal dari kata scio- scire ( bahasa latin
) yang berarti tahu, begitu pula ilmu berasal dari kata “ aliima” (bahasa arab)
yang juga bermakna tahu. Jadi baik maupun science secara etimologis bermakna
pengetahuan. Namun secara termonologis ilmu dan science itu semacam pengetahuan
yang mempunyai cir-ciri, tanda-tanda dan syarat yang khas (H. Endang saifudin
anshari,M.A, 1990,47). Seorang guru besar antropologi di Rutgers University
menyimpilkan bahwa : science is systematized knowledge derived from
observation, study and experimentation carried on order to determine the nature
of principles of what being studied (ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang
di sistematisasikan dalam sistem yang di peroleh dari pengamatan,kajian, dan
percobaan untk menentukan prinsip – prinsip dasar tentang hal yang sedang di
kaji).
Pengetahuan yang merupakn produk aktifitas
berfikir merupakan obor dan semen peradaban (civilization ), dimana manusia
menemukan dirinya dan menghayati hidup yang lebih sempurna meskipun
kelihatannya tampak betapa banyak dan
beraneka ragam buah pemikiran itu, namun pada hakikatnya upaya pada manusia
dalam memperoleh pengetahuan pada tiga masalah pokok, yaitu:
·
Apakah yang ingin di ketahui ?
·
Bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan?
·
Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita
?
( Jujun
S.Suriasumantri, 1989,2).
Setiap bentuk pemikiran manusia dapat di
kembalikan pada dasar-dasar ontologi,
epistomolgi, dan aksiologi dari pemikiran yang bersangkutan.
2
Analisis kefalsafahan di tinjau dari tiga
landasan ini akan membawa kita kepada hakikat buah pemikiran tersebut ( Jujun
S. suriasumantri, 1989,5,).
A. DASAR
ONTOLOGI
Apakah yang
ingin di ketahui ilmu? Atau dengan kata lain, apakah yang menjadi bidang telaah
ilmu? Atau apa hakikat yang dikaji? sedang
bidang lain seperti agama misalnya, yang ruang lingkup kajiannnya hal-hal
yang berada diluar jangkauan pengalaman manusia. Apa yang terjadi sesudah
manusia meninggal dunia? misalnya.
Kiranya hingga sekarang ini tak pernah ada seorang pun yang kembali di lubang
kubur untuk menceritakan pengalamannya. Secara sederhana dapat kita katakan
bahwa kejadian seperti ini termasuk sesuatu yang berada di luar jangkauan
pengalaman manusia, non emperis hal ini tidak akan di kaji atau di bahas dalam ilmu. Sebab ilmu membatasi
diri hanya kepada kejadian yang bersifat emperis. Objek penelahan ilmu
mencangkup seluruh aspek kehidupan yang dapat di uji oleh pancaindra manusia (Jujun
S.suriasumantri 1989, 5 )
Pengetahuan keilmuan menenai
objek emperis ini pada dasarnya merupakan abstraksi yang didasarkan abstraksi
yang di sederhana kan. Penyederhanaan ini perlu, sebab kejadian alam (apalagi
psikologi dakwah – yang melihat di namika kejiwaan yang terlibat dalam proses
dakwah) sangat kompleks. Ilmu tidak bermaksud “ memotret “ atau “ memproduksi
kan “ suatu peristiwa dalam bahasa
keilmuan. Ilmu bertujuan untuk mengerti, mengapa hal itu terjadi dengan membatasi
pada hal-hal yang ada.
Setiap ilmu pengetahuan (science,
wetenchop, wissenchaff) di tentukan oleh objeknya. Ada dua macam objek ilmu
pengetahuan, yaitu: objek material dan objek formal.
Objek material (obiectum
materale, msterial object) ialah seluruh lapangan atau bahan yang di jadikan
objek penyelidikikan suatu ilmu.
Objek formal (obiectum formale,
formal object) ialah objek formal yang di soroti oleh sesuatu ilmu, sehingga
membedakan ilmu yang satu dari ilmu yang lainya,jika berobjek sama (I.R.
Pusjawijatno,1967,29 – 30). Jadi dengan mengetahui objek formal dari suatu disiplin
ilmu dengan disiplin ilmu yang lainnya, dan tidak mungkin suatu disiplin ilmu
memiliki objek formal yang identik.
Adapun
yang dijadikan objek material dari psikologi adalah tingkah laku manusia (Drs.Wasty
Soemanto,M,pd,1988,19) sedangkan objek material psikologi sosial adalah gejala-
gejala social) juga sebagai objek material dari sosiologi ataupun ilmu hukum.
Begitu pula tidak ketinggalan objek material dari psikologi dakwah sama juga,
yakni “tingkah laku manusia”, identik dengan objek material psikologi.
Filsafat (filsafat dakwah – yang
di kehendaki yang eksisnya juga masih dalam proses pemikiran menuju sebuah
disiplin ilmu) yang dikenal sebagai mother
of science tidak mengkaji dakwah sebagai alat untuk memperkokoh tujuan
kelompok sebagaimana pandangan sosiologi dakwah, akan tetapi filsafat dakwah
meneliti, menganalisis dakwah secara kritis, dan dialetik. Filsafat dakwah
mempersoalkan apakah hakikat manusia sebagai objek dan subjek dakwah dan
bagaimana ia menggunakan dakwah untuk berhubungan dengan realitas yang lain
dalam alam
3
semesta ini,
apakah kemampuan berkomunikasi ditentukan oleh sifat sifat jiwa manusia atau
oleh pengalaman (empirical experience), bagaimana proses dakwah berlangsung
sejak kognisi ke efeksi sampai perilaku, apakah media dakwah merupakan faktor
sentral dalam proses evaluasi manusia dan seluas pernyataan-pernyataan lainnya.
Lain lagi yang dijadikan (objek
formal) dari ilmu jiwa agama, yaitu: proses beragama, perasaan, dan kesadaran
beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang di rasakan sebagai hasi ldari
keyakinan (Dr. Zakiah Daradjat, 1970,4).
Adapun psikologi dakwah mengkaji
tentang “segala gejala hidup kejiwaan manusia yang terlibat dalam proses
kegiatan dakwah” (Drs.H.M.Arifin, M,Ed, 1977,29). Mengingat psikologi dakwah
merupakan salah satu bagian dari rumpun ilmu dakwah, yang dikenal sebagai ilmu
normative, artinya berdasar,berbijak, beracuan pada norma- norma islam, yakni
Al- Qur’an dan Al-Hadist. Maka disini penulis berusaha untuk menganalisis
landasan ontology psikologi dakwah dari sudut pandang Al-Quran dan Al-Hadist
pula.
Sebagaimana yang telah penulis
ungkapkan sebelumnya, bahwa yang ditelurusi dari dasar ontologis adalah
“hakikat yang ada”, dalam hal ini, kita mengharapkan adanya keterangan, agar di
awal permulaan kita dapat menghilangkan keraguan, akhirnya patuh (ingat kebenaran
dalam agama berawal dari iman).
Untuk
membuktikan hakikat yang ada ini dalam islam ada beberapa hal yang di kupas,
antara lain :
1.
Kausalitas
Sejak manusia mempunyai kelebihan dengan
akalnya, dan terbitlah cahaya pikiran tentang wujud, dari sejak awal sampai
kini masih bertanya-Tanya : dari mana wujud
(yang ada) itu datang? Kemana ia kembali? Atas dorongan yang kuat
merupakan ke wajiban nya untuk mengetahui diri manusia. Jawaban atas pertanyaan
itu merepotkan para filosof sehingga muncul lah konsep-konsep yang bermacam-macam
dan beragam. Di antaranya ada yang benar dan tidak sedikit yang menyimpang dari
akal, bahkan jauh dari nur illahi. Kalau kita perhatikan hujan yang tercurah
dari awan, buah yang di hasilkan dari tumbuh-tumbuhan, tumbuh-tumbuhan yang
tumbuh dari air dan tanah, dan air yang timbul dari unsur oksigen dan hydrogen,
orang belum menyaksikan sejak ia membuka kedua matanya melihat yang ada bahwa
yang baru terjadi tanpa sebab,atau sesuatu ada tanpa diadakan. Pandangan ini
tenggelam dalam kelaiman yang mendasar, bahkan akal tak berani menentangnya.
Orang tidak akan mengabaikan keputusan (pola pikir) semacam ini kecuali akal
yang sakit atau akal ynag sempit. Hal ini semacam anak kecil yang memecahkan
piring kemudian berkata ; “ bahwa piring itu pecah sendiri.
Realitas yang tampak, akal yang
mengagumkan, perjalanan alam di atas satu undang- undang, semuanya menyatakan
adanya “perrmulan” atau “ awal”, yang dalam istilah filsafat di sebut “causa
prima”. Ia adalah awal akal yang berfikir untuk mengetahui hahikat, dan ia
merupakn dasar hukum akal, dan hokum-hukum logika.
4
2.
Kebetulan
Ada
sementara sebagian orang yang berkata tentang hakikat wujud bermain main
dengan sebuah pendapat bahwa terjadi secara kebetulan. Untuk itu, sebagai
penunjang analisis kami dalam masalah “dasar ontologis”, tidak berlebihan jika
kami merasa kewajiban untuk memamparkan hakikat kebetulan dalam pembahasan,
agar kita dapat menempatkan “ kebetulan” dalam proposinya.
Ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa
“cosmos” (meliputi mikroskosmos dan makrokosmos) tersesusun secara kebetulan.
Semua perkara vital yang instingtif berjalan di atas perhitungan yang teliti
secara kebetulan. Bagi orang yang berakal secara kebetulan, bagi orang yang
berakal secara aksioma atau postulat akan bahwa pendapat semacam itu lebih
mendekati pada khayal keanak-anakan di banding dengan pendekatan ilmiah.
Para
sarjana dan filosof akan berkata: “ tidak ada wujud dalam hakikat terjadi
secara kebetulan”, kata itu hanya akan dikatakan oleh seseorang yang tidak
mengetahui sebab sampai mereka tahu sebabnya, dan tidak memperkenan kan hakikat
itu terjadi secara kebetulan. Andaikata kita mampu mengubah jumlah chromosome,
baik ditambah atau di kurangi atau di ubah chromosome dari mahluk lain, kita
pun tidak akan mengubah manusia menjadi hewan, atau hewan menjadi manusia,
sehingga seorang wanita melahirkan anjing dan anjing pun melahirkan manusia
tidaklah mungkin (sehingga jadilah alam permainan yang lucu sesudah tersusun
rapi mengagumkan).
Andai kta
perbandingan oksigen dan nitrogen tak beraturan dalam udara, niscaya anda
melihat bumi ini di liputi kebakaran yang akan menghancurkan kehidupan manusia
atau mustahil ada kebakaran misalnya perbandingan antara oksigen dan hidrogen
tidak beraturan dalam air, niscaya air tidak baik untuk di minum, niscaya
matilah manusia lantaran kehausan.